RAPAT sidang paripurna Komnas HAM beberapa waktu lalu menyepakati mengamandemen UU No 26 Th 2000 tentang Peradilan HAM. Keputusan itu mendapatkan dukungan dari Komisi III DPR RI. Sebagai langkah awal,
Argumentasi yang digunakan Komnas HAM mengamandemen adalah temuan Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan proyustisia peristiwa pelanggaran HAM yang berat menurut UU No 26 Th 2000 terbentur kendala antara lain banyaknya kelemahan dan kerancuan yang mengakibatkan kelambanan proses peradilan HAM yang berat.
Persoalan HAM di Indonesia akhir-akhir, ini banyak mewarnai pada proses penataan sistem politik dan sistem hukum. Sementara tuntutan penegakkan HAM jika disikapi iebih banyak merupakan tekanan dari pihak eksternal (negara barat) ketimbang urgensitas penilaian atas ketiadaan instrumen hukum yang mengakomodasinya.
Lima isu global dihembuskan pihak Barat guna mengatur tata pergaulan masyarakat internasional. yaitu demokrasi, penegakkan HAM, lingkungan hidup, standarisasi produk dan pengakuan hak atas kekayaan intelektual.
Dalam mensosialisasikan kelima isu global tersebut ke negara berkembang (miskin) agar ikut mendukungnya, tidak jarang negara Barat melakukan penekanan yang dikaitkan dengan komitmen dalam memberikan bantuan atau dalam melakukan kerjasama bilateral.
Indonesia sebagai negara yang sudah menyepakati penegakkan HAM tidak bisa tidak harus ikut menjalankan komitmen tersebut sebagai bagian dari penataan dan pengembangan sistem politik yang demokratis. Langkah waspada yang harus terus dilakukan dalam melakukan penataan peradilan HAM di Indonesia adalah tindakan yang tetap dalam koridor nilai-nilai normatif yang diyakini oleh bangsa Indonesia yakni nilai-nilai Pancasila.
HAM dan Pancasila
Indonesia adalah negara hukum. Di dalam negara hukum kekuasaan negara/pemerintah dilaksanakan sesuai dengan dasar dan prinsip keadilan, sehingga terikat pada undang-undang (rule of law). Prinsip negara hukum adalah adanya pembagian kekuasaan dan ada jaminan atas hak asasi manusia untuk rakyatnya.
Pancasila adalah ideologi bangsa dan dasar negara Indonesia, oleh karenanya merupakan landasan idiil bagi sistem pemerintahan dan landasan etis-moral bagi kehidupan berbangsa, bernegara serta bermasyarakat. Nilai - nilai yang terkandung secara tersirat maupun yang tersurat tidak ada yang bertentangan dengan nilai-nilai penegakkan HAM. Bahkan apabila dicermati secara filosofis terutama pada sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab adalah rumusan dasar tentang inti etika politik.
Karena apabila orang Indonesia memiliki sikap adil dan beradab, diharapkan akan mampu bersikap adil, toleran dan menghargai hak-hak orang lain. Inilah pengakuan Pancasila terhadap nilai-nilai HAM secara hakiki.
Prularistik
Menurut Soekamo, Pancasila adalah ideologi yang tepat bagi bangsa Indonesia yang secara realitas sosial-politik adalah pluralistik. Pancasila adalah penengah konflik antara mereka yang ingin mengkonsepsikan Indonesia kedalam negara nasionalisme sekuler dengan mereka yang ingin mengkonsepsikan negara ke dalam dasar satu agama. Dengan demikian penempatan ideologi Pancasila sebagai dasar negara pada hakikatnya merupakan proses kesepakatan politik rakyat untuk membangun sebuah negara, yang secara politik menempatkan rakyat pada kedudukan yang sama, kewajiban yang sama, dan memiliki hak sama tanpa adanya diskriminasi atas suku, agama, ras, dan etnik.
Dalam memperjuangkan cita-cita politiknya, bangsa Indonesia harus senantiasa yakin dan menempatkan Pancasila sebagai ideologi yang dapat digunakan sebagai acuan etis dan moral dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Mengingat pada saat disepakati sebagai ideologi bangsa, Pancasila berada di antara dua kekuatan ideologi besar yakni ideologi sosialis komunis dan ideologi liberal.
Karenanya jika bangsa Indonesia sudah tidak meyakini Pancasila sebagai acuan etis-moral untuk mewujudkan cita-cita nasional maka bangsa Indonesia akan terseret kedalam salah satu ideologi tersebut.
Liberalisasi HAM
Globalisasi merupakan fenomena riil terutama dalam pengertian interaksi dan komunikasi antarbangsa yang tidak lagi terikat dan dibatasi oleh sekat-sekat, ruang, waktu dan jarak. Ini tidak hanya dalam bidang sosial-budaya tetapi juga pada bidang politik dan ekonomi.
Harus diakui, dinamika globalisasi yang tengah berjalan di dalamnya terdapat skenario taktis dari dunia Barat yang ingin memecah ikatan kolektivitas politik bangsa Indonesia agar menjadi bagian tatanan masyarakat liberal dan mengedepankan cara-cara hidup individualistik. Upaya ini melalui pengkonfrontasian nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi yang kontra produktif terhadap kehidupan modern.
Salah satu tujuan taktis dari globalisasi adalah propaganda secara sistematis dan intensif tentang perlunya integrasi perekonomian secara global guna peningkatan kesejahteraan masyarakat dunia.
Memang secara formal bangsa Indonesia "belum berani menyatakan sistem demokrasi kapitalis" sebagai ideologi alternati. Dalam realitas sosial-budaya dan ekonomi telah banyak masyarakat yang telah menerima dan bahkan menerapkan pola-pola hidup yang berbasis pada nilai-nilai materialistik, individualistik, liberalis, hedonis dan vulgar.
Pendukung sistem demokrasi kapitalis liberal semakin signifikan keberadaannya Indonesia ketika negara secara formal menyatakan untuk memperbolehkan setiap organisasi atau kelembagaan masyarakat tidak harus menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal.
Implikasi dari situasi ini adalah instentif bagi diterimanya pemikiran liberalisme secara melembaga oleh masyarakat Indonesia sebagai solusi untuk meningkatkan tingkat efisiensi dan skala ekonomi serta mulai dilecehkannya pola-pola kehidupan yang berbasis nilai-nilai Pancasila.
Propaganda berikutnya dari gerakan globalisasi adalah perlunya keterbukaan, karena keterbukaan adalah syarat utama dari interaksi global. Atas tekanan ini kemudian banyak negara berkembang termasuk Indonesia mau "membuka dirinya" bagi kepentingan global, tanpa memperhitungan aspek-aspek sensitivitas kepentingan nasional.
Kenyataannya bagi negara berkembang globalisasi justru menjerembakkan pada semakin tingginya tingkat ketergantungan terhadap negara maju serta dihadapkan pada fenomena hubungan bilateral dan multilateral yang saling mempengaruhi secara intensif antara satu dengan yang lain.
Dalam keadaan seperti ini tuntutan perlunya upaya penegakkan hak-hak asasi manusia (HAM) kemudian menjadi legitimasi negara barat guna syarat turunan dari diakuinya penegakkan demokrasi di negara berkembang termasuk Indonesia.
Oleh karena itu sebuah kewajaran apabila didalam menyikapi dinamika penegakkan HAM di lndonesia tidak harus steril terhadap pengaruh asing. Pencermatan HAM dan upaya penegakkannya harus senantiasa dikaitkan dengan ukuran nilai-nilai Pancasila, karena secara substansial Pancasila juga mengandung nilai-nilai pengamalan yang mengakui hak-hak individu tanpa diskriminatif
Acuan Normatif dan Filosofis
Secara konsepsional dan kontekstual Pancasila juga mengakui dan menghormati hak-hak individu. Namun pengertian hak individu disini adalah merupakan konsepsi pengakuan hak-hak individu yang tetap mengacu dan menjunjung tinggi prinsip nilai-nilai keadilan serta tidak mencederai nilai-nilai kemanusian.
Selama era reformasi telah diterbitkan sekurang-kurangnya 5 Ketetapan MPRRI yang berisi ketentuan mengenai implementasi Pancasila. Dari Ketatapan tersebut terdapat kesimpulan yang menegaskan yaitu :
satu, hak asasi manusia yang diterapkan di Indonesia tidak dibenarkan bertentangan dengan Pancasila.
Dua, pandangan dan sikap bangsa lndonesia mengenai hak asasi manusia berdasarkan pada Pancasila.
Tiga, Pancasila harus dilaksanakan secara konsisten dalarn kehidupan bernegara.
Empat, tujuan nasional dalam pernbangunan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila.
Lima, salah satu misi bangsa Indonesia dalam neghadapi masa depannya adalah pengamalan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Enam, Pancasila sebagai landasan untuk mempersatukan bangsa. Upaya penegakkan HAM di Indonesia hendaknya tidak diadopsi dari pengertian tatanan kehidupan global atau tuntutan tekanan masyarakat global. Karena rumusan HAM menurut tatanan global adalah HAM yang berbasis pada paham individualistik dan liberalisme.
Upaya penegakkan HAM hendaknya merupakan bagian dari upaya penataan sistem sosial-budaya, politik, hukum dan ekonomi guna mewujudkan cita-cita nasional dalam wadah tatanan demokrasi Pancasila. Terkait dengan rencana amanden UU No.26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM di Indonesia, sebaiknya proses amandemen diawali dengan langkah tindakan peninjauan terhadap substansi materi rumusan HAM secara komperehensif dan filosofis dengan menggunakan acuan normatif nilai-nilai Pancasila.
Oleh karenanya landasan konstitusionil dan parameter dalam mengukur efektifitas teknis yang digunakan sebagai kerangka analisis dalam menyusun rumusan peradilan HAM di Indonesia hendaknya merupakan sumber hukum dan sumber nilai yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang asli. (11)
Sumber: http://www.suaramerdeka.com.
Oleh: Prof Dr Kartini Sojendero, SH, guru besar Fakultas Hukum Universitas Semarang
0 komentar:
Post a Comment