DALAM momen Hari Pekerja Nasional, 20 Februari 2008, ini, ada baiknya kita mendiskusikan soal diskrimasi dalam kehidupan pekerja di Indonesia. Ada fenomena, tak sedikit perusahaan nasional memberikan gaji secara rasis. Itu terjadi terutama pada perusahaan milik etnis tertentu. Karyawan etnis tertentu itu akan mendapat upah lebih tinggi dibanding etnis Jawa misalnya, meski keterampilannya sama. Padahal kita tahu, walau etnis tertentu ini jumlahnya kurang dari 5 persen di Indonesia, namun mereka amat dominan secara ekonomi.
Keadaan itu, sekarang masih berlangsung di negeri ini. Anehnya, dari waktu ke waktu, tak ada perubahan yang berarti. Ingat ketika Depnaker ingin menaikkan upah minimum di DKI sebesar Rp 590.000, banyak perusahaan yang menolaknya. Bahkan pengadilan memenangkan gugatan para pengusaha yang tak mau mengikuti langkah pemerintah tadi.
Dari gambaran itu, jelas di Indonesia banyak perusahaan —jika tak dapat disebut semuanya— masih belum memperhatikan aspek keadilan dan pemerataan dalam penentuan kompensasi. Kondisi itu cepat atau lambat sebenarnya akan merugikan perusahaan sendiri. Sebab, pekerja terampil tak memiliki loyalitas terhadap pekerjaannya dan mereka bisa berpindah kerja setiap saat kalau ada penawaran gaji/kompensasi lebih besar. Kalau itu terjadi, yang rugi adalah perusahaan sendiri, sebab untuk mendidik tenaga terampil perlu waktu dan dana banyak.
Menurut RS Schuler & SE Jackson, dalam sistem ketenagakerjaan harus mencakup imbalan total yang meliputi kompensasi moneter dan nonmoneter. Imbalan moneter yang adil amat penting untuk kelangsungan dan kemajuan perusahaan. Ini terjadi karena kompensasi moneter bisa menarik pelamar kerja potensial, mempertahankan karyawan yang baik, meraih keunggulan kompetitif, meningkatkan produktivitas, memudahkan sasaran strategis, mengokohkan struktur, dan menghindari tuntutan hukum yang melelahkan.
Kompensasi moneter akan meningkatkan keunggulan kompetitif. Tapi hal itu acap dilupakan perusahaan. Ini terjadi karena ada anggapan pemberian kompensasi moneter yang besar akan merugikan perusahan dan mengurangi cash flow sehingga dapat merugikan bisnisnya.
Memang, kata Schuler & Jackson, kompensasi total yang besar bisa menganggu cash flow perusahaan. Soalnya, dapat mencapai 10-80 persen total biaya. Tapi itu tergantung dari jenis perusahaannya. Untuk mengatasinya, demi mencapai keunggulan kompetitif, pekerjaan manual dapat digantikan dengan mesin atau komputer. Dengan cara demikian, kekhawatiran tersebut dapat diatasi.
Ternyata untuk memajukan perusahaan, tak cukup dengan cuma memperhatikan kompensasi moneter. Namun perlu juga kompensasi nonmoneter, misalnya rasa aman dalam bekerja karena tak khawatir di-PHK; memperoleh pengakuan dan pujian atas jerih payahnya; memperoleh status dan peluang untuk meningkatkan karir.
Tak kalah pentingnya, perusahaan mesti mengemban misi dan idealisme dalam mengelola bisnisnya. Ini penting karena misi dan idealisme pun bisa membuat karyawan merasa pekerjaanya memiliki nilai dan tujuan mulia, tak cuma untuk tujuan-tujuan duniawi, namun juga tujuan ukhrawi. Misalnya, perusahaan media massa yang mengusung idealisme tertentu — misalnya meningkatkan kualitas umat Islam— akan cukup memperoleh loyalitas karyawannya dibanding karyawan di media massa umum, walau kompensasi moneter yang mereka terima lebih kecil.
Tapi, pada akhirnya sistem kompensasi juga akan bermuara pada kompensasi moneter. Kompensasi nonmoneter hanya bersifat pendukung/ pengimbang kalau kompensasi moneter kepada pekerja tak kompetitif dibandingkan di luar. Karenanya yang paling aman ialah gabungan keduanya —memperhatikan kompensasi moneter dan nonmoneter.
Dari uraian tadi, kita dapat melihat, sistem kompensasi merupakan suatu strategi bisnis yang integral dengan strategi, kebijakan dan misi perusahaan. Masalahnya memang tak mudah mengaplikasikan sistem kompensasi itu. Ini terkait dengan bidang kerja dan keahlian karyawan. Karena itulah perlu dikembangkan sistem kompensasi yang adil —tergantung dari seberapa besar kontribusi pekerja itu pada kemajuan dan pengembangan perusahaan.
Tapi, apakah adil itu? Adil, dalam konsep Islam, adalah meletakkan sesuatu pada proporsinya (hadist). Tentu saja, adil dalam konsep Islam tadi memiliki pengertian amat luas, mencakup aspek keterampilan (skill) dan jabatan. Dalam hal keadilan bayaran, masyarakat AS, Kanada dan Eropa punya kriteria: ’pembayaran untuk suatu pekerjaan dengan nilai setara’. Pengertian ini lebih luas ketimbang kriteria ’suatu pembayaran setara untuk pekerjaan setara’. Dengan pengertian ini keadilan bayaran merupakan alat untuk menghilangkan ras, kesukuan, dan jenis kelamin sebagai faktor penentu upah dalam kategorikategori jabatan dan antarkategori jabatan.
Memang kategori itu agak sukar diterjemahkan. Realitanya, sebagai misal, justru banyak perusahan dari negara-negara yang merasa pelopor HAM dan demokrasi yang menerapkan kebijakan kompensasi masih menganut bias etnis dan kewarganegaraan. Sebagai contoh, etnis kulit putih, diberi kompensasi lebih besar dibanding etnis kulit berwarna. Juga, warga negara AS diberi kompensasi lebih besar dibanding warga negara lainnya.
Kini di Indonesia banyak perusahaan yang membayar pekerja wanita lebih rendah dibanding pria (isu gender), membayar pekerja lokal lebih kecil dibanding ekspatriat (isu ras), dan membayar pekerja kulit sawo matang lebih rendah dibanding kulit putih (isu warna kulit). Keadaan itu anehnya dilakukan pula oleh perusahaan asing dari AS, Kanada dan Eropa —padahal mereka di negerinya paling keras menentang ketidakadilan rasis dalam pengupahan.
Mengapa hal itu terjadi? Apakah itu terkait dengan kebijakan pemerintah dalam hal ketenagakerjaan; atau terkait dengan kebijakan strategis pemerintah untuk mendorong perekonomian nasional yang berdasarkan teori keunggulan komparatif? Kalau memang begitu, yakinlah, kebijakankebijakan itu tak banyak gunanya, bahkan akan merugikan bangsa Indonesia sendiri. Era globalisasi yang ditandai majunya informasi dan telekomunikasi akan menyebabkan situasi tadi menjadi bumerang bagi pemerintah. Dengan keadaan itu, cepat atau lambat akan muncul chaos karena adanya ketidakadilan tersebut.
Di era globalisasi, di mana isu HAM menjadi amat sentral, faktor ketidakadilan menjadi problem yang amat peka dan cepat menyulut chaos sosial.
Untuk mengantisipasi itu, pemerintah Indonesia perlu memberikan solusi kebijakan komprehensif demi mengangkat harkat masyarakat Indonesia sendiri.
Apakah kita rela kalau tenaga-tenaga ahli Indonesia dihargai amat rendah, padahal kemampuannya tak kalah dengan ekspatriat. Ini terbukti warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri seperti Jerman dan AS cukup berprestasi dan memperoleh penghargaan, baik secara moneter maupun nonmoneter.
Sumber: Hendrizal SIP
0 komentar:
Post a Comment